IKHLAS
A.
Arti Ikhlas
Secara bahasa, Ikhlas bermakna
bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara
istilah, Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam beramal
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ada pula yang mengatakan ikhlas ialah
membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia. Sebagian lagi ada
yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak
memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan penghargaan hilang dari dirinya
dan berpindah kepada orang lain, karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk
Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan
oleh orang, walaupun perbuatan itu sederhana.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati
makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan
jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa
melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran.
Dengan demikian, Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan
tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu
bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS. Al-An’aam [6]: 162)
Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu
Ghayaatunaa”, yang artinya Allah adalah tujuan kami, dalam segala aktivitas
dalam mengisi kehidupan.
B.
Kedudukan
Ikhlas
Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Ikhlaslah
dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit.”
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang
paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian
nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan
Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku,
karena ia selalu berubah-ubah."
Ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun
perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah SWT dalam Al-Qur’an
memerintahkan kita untuk ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan
(aku telah diperintah): "Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan
ikhlas, dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang musyrik.” (QS.
Yunus [10] : 105)
Rasulullah SAW, juga mengingatkan kita melalui
sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila
dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR. Abu
Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang
yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima
oleh Allah.”
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang
tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah SWT (yang
artinya): Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. al-An’aam
[6]: 162)
Allah SWT juga berfirman dalam ayat lain (yang
artinya), “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas
menaatiNya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan
shalat dan menjalankan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”
(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang
temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar
kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan
terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa
Jalla.”
Tidak heran Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberi
perumpamaan bahwasanya, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi
kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam
kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak
mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci
dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan
meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS.
98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna
dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu,
yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu
anhu beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam
bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan
yang tidak membutuhkan persekutuan, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang
di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga
sekutunya." (HR. Muslim)
Oleh
karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas
dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak
berpahala, bahkan pelakunya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar.
Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari
kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang
adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang
belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya
disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi
keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi
tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini
bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).
Dari
beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang sangat penting
bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa ikhlas dan hanya
mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah.
C.
Manfaat dan
Keutamaan Ikhlas
1.
Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram.
2.
Amal ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT.
3.
Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa
serta dijauhkan dari api neraka.
4.
Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah
SWT.
5.
Do’a kita akan diijabah oleh Allah SWT.
6.
Dekat dengan pertolongan Allah SWT.
7.
Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
8.
Akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari
kiamat.
9.
Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk)
sehingga tidak tersesat ke jalan yang salah.
10.
Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk
orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid.
11.
Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain
12.
Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa
adanya yang diberikan oleh Allah SWT).
D.
Klasifikasi Ikhlas
1.
Iklhas Mubtadi’: Yakni orang
yang beramalkarena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada
dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan.
Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil.
Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang
hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqomah. Ia
beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnya
pun akan berhenti.
2.
Ikhlas Abid: Yakni orang yang beramal karena Allah dan
hatinya bersih daririya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya
karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut
neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya
dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan,
tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq)
dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih
penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
3.
Ikhlas Muhibb: Yakni orang yang beribadah hanya karena
Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan
memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.
4.
Ikhlas Arif: Yakni orang yang dalam ibadahnya memiliki
perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah
dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki
keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan. Semuanya berjalan atas kehendak Allah.
E.
Ciri Orang yang
Ikhlas
1.
Senantiasa beramal dan
bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang
banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Perjalanan waktulah yang akan
menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai
macam ujian dan cobaan, baik suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas
keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Ali bin Abi Thalib r.a.
berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan
rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji
dan semakin berkurang jika dicela.”
2.
Terjaga dari segala
yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari
mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari
umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih,
tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah
saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam
seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang
diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah). Tujuan yang hendak dicapai orang yang
ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa
memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai,
dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah
Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3.
Dalam dakwah, akan
terlihat bahwa seorang da’i yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan
terealisasi di tangan saudaranya sesama da’i, sebagaimana dia juga merasa
senang jika terlaksana oleh tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari
kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal
jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat
dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk
meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
4.
Tidak mencari
populartias dan tidak menonjolkan diri.
5.
Tidak silau dan cinta
jabatan.
6.
Tidak diperbudak
imbalan dan balas budi.
7.
Tidak mudah kecewa.
8.
Yang terakhir adalah
Jika anda istiqomah dalam menghafal Al-Qur’an, maka anda termasuk orang-orang
yang ikhlas dan jujur dan sungguh Allah akan senantiasa membantu perjuangan
anda.
F.
Cara Mencapai Keikhlasan
Cara
agar kita dapat mencapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran disaat
kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Kita hanya memikirkan Allah, shalat
untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah.
Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan
rasa riya’ atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan
Allah SWT. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita.
Insya Allah dengan cara tersebut keikhlasan dapat dicapai. Dan jangan lupa
untuk berdo’a memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas
untuk-Nya, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim a.s, ”Sesungguhnya jika Rabb-ku
tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77).
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77).
G.
Perusak-Perusak Keikhlasan
Ada
beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah
dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. Terdapat bentuk
detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau disebut dengan riya'
khafiy' yaitu:
1.
Seseorang sudah secara diam-diam melakukan
ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh
banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain
mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat,
memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli
(diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak
iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah
dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu
menghormatinya.
2.
Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana)
bukan maksud dan tujuan. Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang
tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid AlGhazali
ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata
karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang
tersebut melalui lisanya (ucapan)”, berkata Abu Hamid: "Maka aku
berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku,
lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya
kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah
semata.” Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan
manusia terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji
manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu
harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi
dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka terjadilah dua hal yang saling
bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana
saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”
3.
Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau
berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang
seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan
tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan
merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini
merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh
para salafus shaleh.”
a.
Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk
didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
b.
'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa:
"Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub
masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri. (Al fatawaa, 10/277).
H.
Contoh
Implementasi Keikhlasan
Dikisahkan
oleh seorang pemuda ketika ia berada di salah satu supermarket di Mekah. Saat
ia sedang mengantri di kasir untuk membayar apa yang hendak dibelinya, di
depannya terdapat seorang wanita bersama dua putri kecilnya dan tepat di
belakang mereka dan didepannya terdapat seorang pemuda. Ketika wanita bersama
dua putri kecilnya itu hendak membayar apa yang dibelinya seharga 145 real,
sang wanita memasukkan tangannya ke tas kecilnya untuk mencari-cari uang,
ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 realan dan beberapa lembar pecahan
sepuluhan realan. Ia juga melihat kedua putrinya juga sibuk mengumpulkan uang
pecahan realan milik mereka berdua hingga akhirnya terkumpulah uang mereka 125
real. Maka terlihatlah ibu mereka berdua kebingungan dan mulailah sang ibu
mengembalikan sebagian barang-barang yang telah dibelinya. Salah seorang
putrinya berkata, "Bu, yang ini kami tidak jadi beli, tidak penting
bu".
Tiba-tiba
Ia melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan
selembar uang 50 realan di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi dan
cepat. Lalu sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan
penuh kesopanan dan ketenangan seraya berkata, "Ukhti, perhatikan,
mungkin uang 50 realan ini jatuh dari tas kecilmu".
Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.
Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, "Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar". Lalu ia bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?"
Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta'aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi". Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)
Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.
Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.
Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, "Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar". Lalu ia bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?"
Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta'aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi". Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)
Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zibari Dr.
Amir Said, Dar Ibnu Hazm, pertama, November 2001, Jl. Kampung melayu kecil
III/15 jak-sel 12840
Al-Hafizh,
An-Nadani Abdussalam,Penerjemah Lc, Nurtsani Imran Pipih, 2011, 8 Langkah Hebat
Menghafal Al-qur’an, Solo, Al-Hambra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar