HUKUM ISLAM TENTANG MUNAKAHAT
A. Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seseorang
laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seorang
yang dipercayai. meminang dengan cara diperbolehkan dalam islam terhadap gadis
atau janda yang telah habis iddahnya kecuali perempuan yang masih dalam iddah
ba’in.[1][1]sebaiknya dengan jalan
sindiran saja, seperti firman Allah Swt:
وَلاَجُنَاحَ عَليكُم
فِيمَا عَرَضْتُم بِه مِنْ خِطْبَةِ النِّسآءِ(البقرة :235)
Artinya :” Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran” (Al-Baqarah :235)
Meminang atau khitbah adalah permintaan seoang laki-laki kepada seorang
perempuan untuk menjadi istrinya,dengan cara-cara tertentu yang sudah umum
berlaku dimasyarakat setempat. Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka
pernikahan. Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang mau menikah,
lebih dulu saling mengenal sebelum melakukan akad nikah, sehingga pelaksanaan
pernikahan benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Namun
perlu diperhatikan, bahwa peminangan belum menimbulkan akibat hukum, sehingga
laki-laki maupun wanita dapat memutuskan peminangan.
Adapun wanita yang boleh
dipinang sebagai berikut :
1.
Pada waktu dipinang tidak ada halangan hukum yang melarang dilangsungkannya
pernikahan.
2.
Belum dipinang orang lain secara sah
apabila terdapat halangan hukum maka tidak boleh dipinang, misalnya si
wanita karena sesuatu hal haram dinikahi selamanya atau sementara atau telah
dipinang lebih dulu oleh orang lain.
Adapun wanita yang tidak
boleh dipinang yaitu :
1.
Wanita bekas istri orang lain yang sedang dalam masa iddah
Meminang
atau khitbah merupakan langkah-langkah pendahuluan menjelang perkawinan. Allah
ta’ala telah mensyari’atkan khitbah sebelum hubungan perkawinan dimulai, yakni
sebelum diadakan akad nikah, dengan maksud agar kedua belah pihak saling kenal
mengenal terlebih dahulu, sehingga perkawinan yang akan mereka tempuh
betul-betul didasarkan pada saling pengertian dan keterusterangan.
Wali berkewajiban
memilih calon suami untuk anak gadisnya. Ia tidak boleh mengawinkan anaknya itu
kecuali dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak baik, sehingga dapat
berumah tangga dengan anak tersebut dengan baik tanpa menganiayanya.
Petnah Hasan bin ‘Ali
ditanya seseorang, katanya: ‘Sesungguhnya saya ini mempunyai seorang anak
gadis, dengan siapakah sebaiknya ia saya kawinkan menurut tuan?”
“Kawinkanlah dengan laki-laki yang
bertaqwa kepada Allah,” jawab Hasan.“Kalau laki-laki itu mencintai anakmu, ia
akan memulaikannya, dan kalau tidak cinta pun tak kan menganiaya dia.”
Wanita Manakah Yang Boleh Dipinang?
Wanita yang boleh dipinang hanyalah wanita
yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama,Tidak
ada halangan Syar’i yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterikannya saat
itu.Kedua,Tidak ada
laki-laki lain yang telah lebih dahulu meminangya secara sah.
Jadi kalau ada halangan Syar’i, umpamanya
wanita itu memang tak boleh dikawin (Muharramah), baik untuk sementara atau
selama-lamanya, atau sudah ada laki-laki lain yang meminangnya lebih dulu, maka
wanita itu tak boleh dipinang.
B. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti
kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan
akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.[3][3] Dalam buku fiqih wanita
yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya.
Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa
perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga didunia
binatang. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan
sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada pada manusia
dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan
manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih.Demikianlah, bahwa
segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tak pernah terlepasdari
didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau
semakna keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah
kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita
yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat
hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya
tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu aqad
atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi
rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. [4][4]
C. Hukum Nikah
1.
Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
2.
sunnat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3.
Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina)
4.
Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
Bagi orang yang telah mampu kawin, beristeri
itu wajib hukumnya.Karena dengan beristeri itu hati lebih terpelihara dan lebih
bersih dari desakan nafsu. Al-Qurthubi mengatakan: “Bagi orang yang mampu
kawin, sedang dia khawatir dirinya terjerumus kedalam dosa sehingga agamanya
tidak terpelihara akibat membujang, yang rasanyahal itu hanya bisa disembuhkan
dengan perkawinan, maka tak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkawinan
dalam keadaan seperti ini.
D. Rukun dan Syarat Nikah
1.
Rukun perkawinan
a.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan.
b.
Adanya wali.
c.
Adanya 2 orang saksi
d.
Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad) yaitu perkataan dari
pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali dengan lafadz nikah.
2.
Syarat dua mempelai
Adapun syarat dua
mempunyai ialah :
a. Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1)
Calon suami beragama islam.
2)
Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3)
Orangnya diketahui dan tertentu.
4)
Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5)
Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon
istrinya halal baginya.
6)
Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7)
Tidak sedang melakukan ihram.
8)
Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)
Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin
perempuan
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1)
Calon suami beragama islam.
2)
Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3)
Wanita itu tertentu orangnya.
4)
Halal bagi calon suami.
5)
Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
6)
Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7)
Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c.
Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal
dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak
sah. Hal ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:
لا
نكاح إلا بولى.(رواه الخمسة إلا أنسائى)
"Tidak ada perkawinan
tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali
An Nasaiy)
Hanafi Tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan
yang telah baligh dan berakal, boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedang
Malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan,
bukan untuk mengawinkan perempuan awam. [6][6]
Wali dan saksi bertanggung jawab
atas sahnya akad nikah oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi atau
wali.tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut
:
1)
Islam. orang yang tidak
beragama islam tidak sah menjdi wali atau saksi.
2)
Balig. (sudah berumur 15
tahun)
3)
Berakal
4) Merdeka
5) Laki-laki
6) Adil
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah
menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini :
1)
Bapaknya
2)
Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
3)
Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4)
Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu
sebapak dengannya.
6)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
sebapak saja dengannya.
7)
Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak
bapak)
8)
Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
d.
Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua
orang, lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
(faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga
saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang
buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang
tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama
berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan
(akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi
dan Hambali.
Bersifat adil
Menurut imam Hanafi untuk menjadi
saksi dalam perkawinan tidak di syaratkan harus orang yang adil, jadi
perkawinan yang di saksikan oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang
yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan
dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan
oleh dua orang yang belum di kenal adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi
menurut Syafi’I kawin dengan saksi-saksi
yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya sah.
Perempuan Menjadi Saksi
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi
haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan,
tidak sah, tetapi golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka
berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua
perempuan sudah sah.
Harus Orang Merdeka
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang
menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan
syarat ini.Dia berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak,
hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain,
dan karena dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang menolak
seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah,
kesaksiannya tidak boleh di tolak.
Harus Orang Islam
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat
menjadi saksi dalam perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan
perempuan muslim,apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda
pendapat jika yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh
orang yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan
perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan islam, karena yang kawin
adalah orang islam, sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam
tidak dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila
perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian
dua orang Ahli Kitab boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh
undang-undang perkawinan mesir.
e.
Syarat-syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan
'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak
wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang kabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendapat Hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai lelaki atau wakilnya dan kabul
dan pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan
berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul merupakan
syarat perkawinan
Ijab kabul ini dilakukan di dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama
antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak
dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih di dalam satu majelis dan tiada
hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya
adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Sunnah dan
Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi membolehkan dengan
kalimat lain yang tidak dari Al-Qur'an, misalnya menggunakan majaz yang biasa
digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Akad nikah itu wajib
dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak
buta), mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud akad nikah, dan juga
adil. Saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan boleh orang
perempuan, sedang menurut Hanafi boleh saksi itu dua orang buta atau dua orang
fasik (tidak adil). [8][8]
untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hokum
pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Kedua belah pihak harus tamyiz
Bila salah satu pihak ada
yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz ( membedakan benar dan salah), maka
pernikahannya tidak sah.
2) Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan
ijab qobul tidak boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di
anggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qobul.
Tetapi dalam ijab dan
qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya berjalan lama dan antara
ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qobul,
maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini pendapat golongan hanafi dan hambali.
Dalam kitab mughni disebutkan: bila ada tenggang waktu antara ijab
qobul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majlis juga tidak di selingi
sesuatu yang mengganggu. Karena di pandang satu majlis selama terjadinya
upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai bagi barang yang
di syaratkan di terima tunai, sedangkan bagi barang yang tidak di syaratkan
tunai penerimaannya, barulah disana di benarkannya hak khiyar ( tetap jadi
membeli atau membatalkan).
Bilamana sebelum di
lakukan qobul telah berpisah, maka ijabnya batal.Karena makna ijab disini telah
hilang.Sebab, menghalangi bisa dilakukan oleh pihak laki-laki dengan jalan
berpisah diri, sehingga dengan demikian tidak terlaksana qobulnya.Begitu pula
kalau kedua-duanya sibuk dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya ijab
qobul, maka ijabnya batal lantaran upacara qobulnya jadi terhalang.
Sedangkan golongan syafi’I mensyaratkan cara
tersebut boleh asal segera.
Mereka ( ahli fiqih) berkata bilamana ijab
qabul di selingi oleh khutbah si wali, umpamanya: bismillah, Alhamdulillah,
washshalatu wassalamu’ala rasulillah, aku terima akad nikahnya. Dalam hal ini
ada dua pendapat.
Pertama: syaich Abu Hamid Asfara Yini
berpendapat sah. Karena khutbah dan akad nikah di perintahkan agama.Dan
perbuatan ini tidak merupakan halangan sahnya akad nikah, seperti halnya orang
yang bertayamum antara dua shalat yang di jama’.
Kedua: tidak sah, sebab memisahkan acara ijab
qabul , sebagaimana halnya kalau antara ijab qabul itu di pisahkan oleh hal-hal
lain di luar khutbah. Dalam hal ini berbeda dengan hokum tayamum di antara dua
shalat yang di jama’ itu memang ada di perintahkan agama, sedangkan khutbah
nikah di perintahkan sebelum ijab qabul.
3)
Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan
ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan
pernyataan persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan
kamu dengan anak perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul
menyebut : aku menerima nikahnya dengan
Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik ( lebih
tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.[9][9]
Kata-kata
dalam ijab dan qabul
Di
dalam melakukan ijab qabul haruslah di pergunakan kata-kata yang dapat di
pahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan
kemauan yang timbul dari kedua belah pihakuntuk nikah, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samara tau kabur.
Jika kata-kata dalam ijab dan qabul dapat dig
anti dengan kata-kata kiasan, maka sahlah hukumnya, seperti halnya dengan
menyatakan cerai dengan kata-kata kiasan.
Ijab
qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para
ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain arab,
asalkan memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya tidak
tahu bahasa arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak
paham pahasa arab dan bisa melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi
orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah
menggunakan selain bahasa arab. Demikian salah satu pendapat dari imam
syafi’i.menurut imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata
tertentu yang di gunakan ijab qobul sebagaimana juga dalam bahasa Arab
Ijab
qabulnya Orang Bisu
Ijab
qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti, sebagaimana
halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyarat itu
mempunyai makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak
memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah,sebab yang melakukan ijab qabul
hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja.
Ijab
Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana
salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan
aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada
pihak lainnya meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau
menerima hendaklah ia menghadirkan para saksi dan membacakan isi suratnya
kepada mereka atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada
mereka di dalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah di terimanya. Dengan
demikian qabulnya di anggap masih dalam satu majlis.[10][10]
E. Hikmah Nikah
Islam
menganjurkan menikah.itu merupakan kabar
gembira, sebagaimana dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena nikah berpengaruh
besar (secara positif) baik bagi pelakunya, masyarakat maupun seluruh umat manusia. jadi, banyak sekali hikmah yang
terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek sosial,psikologi, maupun kesehatan.
adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :
1. Menyalurkan Naluri seks
Naluri seks merupakan naluri
terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang yang tidak bisa mencarikan
jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami goncangan dan kekacauuan
bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan karenanya menikah merupakan
jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan naluri seks.
2. Jalan mendapatkan keturunan yang
sah
Nikah merupakan jalan terbaik
untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat). melalui pernikahan, keturunan
menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan keturunan terpelihara sehingga
kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa dapat terwujud.
3. Penyaluran naluri kebapakan dan
keibuan
Mereka yang telah menikah dan
memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini akan menimbulkan perasaan
ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi antara satu dengan anggota
keluarga lainnya.
4.
Dorongan untuk bekerja keras
Orang telah menikah dan
memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung jawab dan kewajibannya
dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk melaksanakan kewajibannya.
5.
Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga
Melalui perkawinan akan timbul
hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang, juga adanya pembagian tugas
antara suami istri dalam hubungannya dengan pengembangan generasi yang baik
dimasa mendatang. [11][11]
6.
Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Darajdat,Zakiah.Ilmu
Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf.
Na’im,Abdul Haris.Fiqih
Munakahat. Kudus:Stain Kudus.
Rasjid, Sulaiman.Fiqh
Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.
Supiana-Karman Muhammad.Materi
Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Sabiq,sayyid,fiqih sunnah 6.Bandung:PT
Alma’arif,1980
[11][11]Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT
Remaja Rosdakarya. Hal 129-130